Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Indonesia terkenal dengan warisan budayanya. Candi Cetho merupakan salah satuh dari bukti sejarah yang pernah ada. berlokasi di lereng gunung Lawu, pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut, dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kec. Jenawi, Kab. Karanganyar. Candi yang bercorak agama Hindu ini masih digunakan oleh penduduk setempat maupun para peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Selain itu, candi ini merupakan tempat pertapaan bagi penganut kepercayaan Kejawen.
Perjalanan menuju ke Candi Cetho jika dari Solo memakan waktu kurang lebih 1,5-2 jam. Saya dan teman-teman sering berkunjung ke sini dengan mengendarai motor untuk sekedar refreshing dan menikmati suasana sekitar. Tiket masuk ke lokasi Candi juga cukup murah Rp 2.500,- per orang.
Bersama teman berbagai kesempatan, depan gapura candi |
Tatanan batu yang menggambarkan kura-kura raksasa |
Sejarah Candi Cetho (dikutip dari Wikipedia): Pada keadaannya yang sekarang, kompleks Candi Ceto terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar,
pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah
gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua
masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Ceto.
Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan
gapura terdapat inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuna
berbahasa Jawa Kuna berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397. Tulisan ini ditafsirkan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka
atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar
di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.
Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis
merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan
lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala
berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern. Dapat ditafsirkan bahwa
kompleks candi ini dibangun bertahap atau melalui beberapa kali
renovasi.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan.
Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit
jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan
sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh
dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong,
dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya
adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat
spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus
melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang
melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras
tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu
berbentuk kubus.
Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang
pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum
melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di timur laut
bangunan candi, dengan menuruni lereng, ditemukan sebuah kompleks
bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").